Tuesday, August 22, 2006

senandung khalidah

pada senja yang mengantar bayangmu
ke persinggahanku yang terasing
tanpa sepatah kata bibir ini jadi kelu
ketika itu kita sempat bercerita tentang camar di laut bisu
yang membawa sebilah rindu
pada kepak sayapnya yang tegas
bergegas kemasi sunyi di ujung waktu yang ringkas
saat senyummu mencumbu
aliran darahmuda yang telah muncak
dan aku terus saja menatap gambarmu
pada selingkar kenangan
yang kau kirimkan lewat waktu di musim lalu

kita selalu diskusikan setumpuk masalah
walau tiada terungkap sepanjang malam
entah berapa jam terlewat tanpa kesimpulan
sederet angka dan agenda sesungguhnya telah tersusun
menumpuk dalam dada dan ingatan
hingga segumpal darah di dada ini tak pernah mampu
menahan degup rindu
yang bergerak pada dua kutub
saat aku semakin takjub
kepadamu
karena aku tak pernah ingin memburu bayangbayang
dan akhirnya menipu

“aku lebih senang mengucap tutur
bercerita kesungguhan yang ada
tanpa membungkusnya dalam
sekam yang bergumam”

semua terlihat bagai sebuah kegampangan
padahal katakata yang mengalir
terkadang hanya lewat dan mampir sebentar di telinga
lalu melompat di antara ingatan
sedangkan itu tak mungkin aku lakukan jika hanya sekedar
melepas janji untuk sebuah pertengkaran

(aku lelaki yang telah kau tujah tepat di dasar hati, melewati batas di antara aral, hingga degup rindu selalu mengibas layar yang telah dikembang)

sepertinya luka yang kau kisahkan dulu
telah membendung cerita lewat airmata
dan temukan kesedihan tiada terkira
bagai dencing pahat yang terlumat
dalam episode hidup
yang tak pernah tersambut
di rahim malam
saat kita samasama diam

mungkin kisah ini selalu sama
saat aku melakukan kesalahan
maka sekelebat kesalahan pun akan mampir
di persinggahanmu

“ini bukan takdir dari jibril, atau malaikat apapun namanya
tapi memang kita harus samasama mangkir
dari kesalahan yang sama
agar tak pernah terlahir
sebuah dendam paling nyinyir”

sesungguhnya aku tak pernah ingin
menyaksikan seribu malam menelan kita
mendekap gundah saat bicara
hingga cipta kegelapan tak terkira
yang teramat kelam kita rasakan
karena semua ini
akhirnya hanya siasia belaka
jika sebuah kisah tak pernah terselesaikan

maka acuhkan saja setiap janji yang ditawarkan
dari hati yang kau sendiri belum mengerti maknanya
dan biarkanlah jiwa kita menyatu
dalam ingatan yang kita pikul bersama
hingga jelma sebuah harapan
pada taman seindah eden

‘ketika senja mampir di rumahmu
dengan seikat janji dan sekeranjang cinta
yang telah terkumpul sejak awal pertemuan itu
maka di sanalah puisi kita jadi nyata”


ah, kau pasti tahu, cinta tak akan menebarkan aroma
sewangi parfum yang dijajakan di emperan toko
atau pusat perbelanjaan, tapi cinta ini,
menawarkan kebahagian sewangi parfum bagai kasturi

sesedih apapun dunia yang terlukis di kepala kita
bukan hanya menjalani malam yang selalu gelap
dan sekejam kelam
tanpa sinar menerangi setiap ruang di sudut hati
yang telah terlahir untuk kita
lalu mengukir keindahan dunia
dan lemparkan batu karang yang sempat
membuat kita tergelincir
pada gigir sunyi entah akibat dusta
atau kebohongan yang tercipta
karena sebenarnya kita ingin suci
dari rahim malam
yang terlahir untuk bersama

(pejamkan mata dan tatap siluet senja
sebab di sana aku berdiri menatapmu
dalam degup rindu yang terus memburu
ingin membuncah dengan segumpal darah di dada
mengokang kalimat dalam doa: wahai, tangan
yang mampu wujudkan mimpi, jadikanlah nyata,
maka jadilah)

Jakarta, agust’06