Thursday, October 27, 2005

sebenarnya aku ingin jujur

sebenarnya aku ingin jujur kepadamu sebentar saja
untuk sesaat melepaskan katakata yang akan berguguran di bibirku
aku tahu hatimu pasti jadi malu membaca setiap katakataku yang kaku
ya, aku sendiri begitu
masih enggan mengucapkannya saat ini
aku hanya mampu berharap senyummu akan selalu hadir setiap pagi
saat embun masih bermalasmalasan di lembaran daundaun talas
di samping rumahmu
di taman yang penuh dengan bunga
serta di pepohonan akasia yang dedaunnya selalu mengotori halaman rumahmu
setiap pagi kau akan memandang peristiwa itu
lalu kau akan melihat titiktitik embun bergulirluncur menyentuh tanah kering
di sana, rasa ini tetap setia menantimu
dalam kegamangan yang kian jelas kau menatapnya

jakarta 28 oktober 2005

lalu kapan semuanya akan terjadi

janji
harus ditepati
aku pernah mengucap di hati
penantian
pasti berlalu
kamu pasti setuju
lalu kapan semuanya akan terjadi

jakarta 28 oktober 2005

duduk di samping ibu saat malam di kota kian dungu

duduk di samping ibu, saat malam di kota kian dungu
sendiri menatap bibir memerah gincu
merah norak, seperti raut wajah yang menua di gerus waktu
ah, ternyata harapan yang ada di hati tak seindah
bayangbayang mimpi seorang ibu

saat kaki sudah tak mampu lagi melangkah
mencoba mengukur waktu yang terlewati
di serambi mengucap janji, walau semuanya telah basi
ya, bau busuk sesangit menusuk
membuncah dari tumpukan janji
terlupakan di titik jiwa yang menanti
:ternyata harapan tak sesuai kenyataan

lalu apa yang diberi ibu saat payudaranya
pernah memberi hidup pada setiap anak yang terlahir
mengucurkan susu murni dari tubuh ringkih yang kian kisut
hingga terbentuk tubuhtubuh mungil yang kini semakin besar
melewati jejak langkah ibu

garisgaris horizontal di wajah ibu jadi saksi
betapa waktu membuatnya semakin malu dan bisu
dalam detikdetik yang mengalir di darahnya
hanya mampu berdoa
"nak, jadilah dirimu manusia yang selalu bersyukur"

duduk di samping ibu, saat malam di kota kian dungu
membayangi hidup yang semakin kusut, entah apa jadinya jika maut menjemput
ibu, di sini semuanya tak seindah mimpi

senja di jakarta, 27 oktober 2005

Sunday, October 23, 2005

ini adalah kesekian kalinya aku mengingat

tidakkah kita samasama menyaksikan
sejarah yang semakin memutih dan beruban
di setiap lembar bukubuku usang
berhelaihelai hanya ada cerita, tangis dan airmata, serta bau mesiu
mencoba ungkap tabir lewat makna
sedikit bumbu mutiara
padahal waktu tak mungkin bisa menjawab semua

selepas tandatanya yang menumpuk
sedikitpun takpernah lapuk
di sini aku masih mengingat
hari yang bergulir dan bulan yang berganti
tak akan bisa menghapus kenangan
biarpun lewat derasnya hujan
atau teriknya matahari

(karena kenangan jadi sejarah di setiap lembar bukubuku usang)

inilah kata akhir yang mampu kutulis
sebaris puisi di antara langit dan bumi
agar jadi kenangan paling berkesan

(adakah sejarah yang terkenang)

jakarta23okt2005

di suropati

siang mengambang di tikungan menajam
menabrak pikiran mabuk jalanan
di rindang pepohonan, akasia semakin renta
garisgaris langit jadi lukisan melingkar
jalan yang sama terlewat entah berapakali

saat sepasang meriam singgah sejenak
untuk sekedar melepas mortir di kepala
dan selesaikan pencarian dogma
rerimbun alis matamu mengingatkan aku
pada sebuah janji yang belum sempat terpenuhi
di taman ini, aku menanti
suropati yang sepi

jakarta23okt2005

Wednesday, October 19, 2005

membaca setiap jarak wajahmu

di sini aku sendiri menatap wajahmu lewat waktu
yang masih seperti dulu. katakata tak mampu
aku berikan setelah malam terselip di wajahmu
dan akupun menemukan sebuah tandatanya itu
walau tinggal secebis kisah yang tersisa
aku masih mencoba menggores rasa ini
di ujung penantian

pucukpucuk gelisahku pernah gugur di sini
merabaraba keluhkesah yang selalu
membawa wajahmu, lewat pesan elektronik
ternyata jarak yang memisahkan kita
tak bisa menyimpan rasa yang tersembunyi

biarlah kita baca lagi setiap jarak yang menyimpan
wajahwajah kita, agar nanti semuanya tak salah
hingga sebuah ikatan menyatukan jarak ini
di sini...

Jakarta/18Oktober2005

Sunday, October 16, 2005

---eve

semuanya telah aku lipat dalam lemari katakata
--eve…

perempuan, telah aku selesaikan puisiku malam ini
seperti permintaanmu kepadaku
saat rinai gerimis membasahi bumi
perempuan, senyummu selayaknya mengerti
betapa resahku selalu menunggu setiap malam
setelah puisi terakhir ini selesai aku kirimkan
saat itu senyummu tak lagi singgah di harihariku
perempuan, mengapa tanyamu selalu saja membawaku kepada cerita cinta yang ituitu saja:
tiada makna aku menjawab keluhkesah senyummu
perempuan, jangan lagi senyum itu mengikat bayangbayangku dalam dekapan kesepian yang entah sudah berapa kali aku mengisahkannya
kepada angin
kepada langit
kepada rembulan
kepada bintanggemintang
perempuan, berilah sepenggal kisah senyummu
agar aku tiada bermimpi merangkai senyum di musim semi saat daundaun berguguran di teras kamarku

semuanya telah aku lipat dalam lemari katakata
aku sudah tak mampu menuangkan gemuruh seperti amarah masa lalu
engkau pun begitu eve …
dengan lembut desahanmu masih terngiang di telingaku
seperti bertanya di mimpi aku sudah terbiasa dengan semua kelembutan yang selalu kau tawarkan sepekan kemarin
saat itu jantungku sudah tak mampu menahan titiktitik nadir
dalam labirin selalu menjadi kegelapan aku memuja senyummu

w63, 2005
(Riau Pos Februari 2005)

Thursday, October 13, 2005

sebuah rindu

kusimpan janji di batas malam
---kh a

biarlah kisah ini kusimpan di batas malam yang demam teramat panjang
saat bayangbayangmu tak mampu melupakan sebuah cerita
walau seikat ilalang mengisahkan tentang kepergian itu
pernah kutemukan sepotong malam di simpang penantian yang mengeram di hati. ia tak mau pergi, tersebab aku sendiri masih menanti
saat itu kita pernah mengukur jarak dengan airmata
semuanya tak pernah sama, hingga lelah berkisahresah
dan perahu yang tak jadi aku tambatkan
di dermaga batu

pagi inipun begitu, burungburung yang berkicau membawa selembar namamu
suara itu melingkar di atas kepala, mengisahkan rindu melulu
sambil menggambar seraut wajah penuh tandatanya
burungburung itu pun terbang di bentang sengang
melupakan sebuah kisah kesedihan di hati kita

menjelang dermaga kesekian kalinya yang pernah kita temui
aku mencoba berhenti dengan lelah yang tak pernah sudah
untuk sejenak mengikatkan resah di lingkar jemarimu
hingga kepenatan ini tak jadi kalimat batu
biarlah kuselipkan sebuah tanya di lipatan hatimu
bukan nafsu purba yang menganga

maukah kau berikan segaris noktah di hati ini?
agar tiada resah yang selalu payah mengejawantahkan gundah
karena ia terlanjur bergemuruh di dada
untuk itulah kita harus berjanji
suatu waktu nanti

red_AKLaMASI, 100705